Rabu, 29 Juli 2020

CEPETAN, DULU DAN KINI


Kebumen, merupakan salah satu kabupaten yang sangat banyak memberi pengalaman hidup. Mendengar orang menyebut Kebumen, membawa banyak penanda jejak keindahan. Waduk Sempor, Pantai Menganti, Terowongan Ngijo dan banyak lokasi lainnya dengan keunikannya masing-masing. Banyak juga kesenian dan keindahan khas di Kebumen. Kesenian asli dari Kebumen, antara lain Cepetan, Keselong, Ebleg dan Lawet. Masing-masing tarian tersebut memiliki makna dan gerakan khas yang berbeda satu sama lain. 
Kali ini kita akan mengenal lebih jauh tentang salah satu di antara banyak kesenian itu, yaitu Kesenian Cepetan. Menarik untuk ditulis karena ternyata masih banyak yang belum mengenal kesenian Cepetan, meskipun penduduk asli Kabupaten Kebumen. Bahkan ada yang salah memahami, menganggap Cepet sebagai penculik anak kecil di waktu Maghrib.

Apakah kesenian Cepetan?
Kesenian Cepetan, termasuk rumpun tari rakyat, yaitu tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat. Hal ini dapat dilihat ciri-cirinya, gerakannya yang spontan dengan arena pertunjukan dan kostum sederhana. Kesenian ini biasanya tidak terlepas dari hal-hal magis dan mempunyai fungsi hiburan. Kesenian rakyat pada awalnya kebanyakan bertujuan untuk ritual bagi para leluhur dan unsur alam lainnya. Namun, pada perkembangannya menjadi seni hiburan yang tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat (Endang Caturwati, 2007: 23).
Kesenian Cepetan di Kebumen berkembang di tiga wilayah, yaitu 1) Cepetan Perkutukan, 2) Cepetan Karanggayam, dan 3) Cepetan Watulawang. Dari wawancara dengan Mbah Dawintana, sesepuh pelestari kesenian Cepetan Pejagoan, diperoleh banyak informasi. Menurut mbah Dawintana, pada dasarnya Cepetan ketiga wilayah ini sama, semua diawali dengan melakukan panembahan ke lokasi yang sama yaitu ke Mbah Kajoran. Perbedaannya pada topeng tokoh yang dipakai pemain kesenian Cepetan. Artinya tokoh yang bermain sesuai dengan topeng yang berbeda antara Perkutukan, Karanggayam dan Watulawang. Tokoh di sini yang dimaksud adalah makhluk halus yang merasuki pemain, berbeda satu wilayah dengan yang lain, sesuai topengnya. Namun secara sumber dan panembahannya tetap sama, yaitu Mbah Kajoran. Mbah Kajoran ini merupakan makam yang didatangi sesepuh Cepetan sebelum pentas.


Bagaimana sejarah kesenian Cepetan dan kondisinya saat ini?
Pada mulanya, Kesenian Cepetan ini dari Peniron. Kesenian ini awalnya dikembangkan oleh Mbah Kajoran. Maksud awal dari kesenian Cepetan sebenarnya untuk menakuti para penjajah agar tidak mengganggu masyarakat Kebumen. Maka digunakan topeng yang menyeramkan dan dimasuki roh yang diundang saat permainan berlangsung. Roh inilah yang kemudian masuk ke raga pemainnya dan menjadikan mereka kesurupan. Menurut Mbah Dawintana, kesenian Cepetan yang dimainkan di Peniron, para pemainnya adalah orang-orang Watulawang. Kehadiran kesenian Cepetan dibawa orang-orang Watulawang yang menjadi pemain Cepetan di Peniron. Selanjutnya di Watulawang, Pejagoan kesenian Cepetan dikembangkan oleh Mbah Dawintana semenjak masa awal kemerdekaan sampai sekarang. Selain di Watulawang, kesenian Cepetan juga berkembang di Karanggayam dan di Perkutukan.
Kekhasan kesenian Cepetan adalah pada pemainnya yang menggunakan topeng berbeda-beda di masing-masing kelompok. Pada saat bermain, ada proses ndem ndeman (mabuknya pemain karena pengaruh magis) yang disertai dengan kesurupan para pemainnya. Keunikan lain dari tari Cepetan adalah adanya pemanggilan roh halus melalui pelaksanaan sesajen dan ritual magis lainnya dari tempat yang dianggap sebagai penguasa makhluk yang menjadi penyerta para pelakon pada kesenian Cepetan, yaitu Makam Mbah Kajoran. Menurut Mbah Dawintana, para pemain tari Cepetan ini sangat dipengaruhi makhluk yang serupa dengan topeng yang dipakainya.

Gb. Mbah Dawintana dan Pewawancara (Pak Joni S)

Keberadaan kesenian Cepetan sekarang sudah jarang yang mengembangkan. Pada masa dulu, kesenian cepetan hanya tampil pada waktu peringatan HUT RI, namun sekarang kesenian cepetan dapat tampil setiap saat jika ada yang menghendaki. Bahkan sudah dapat tampil pada acara keluarga sebagai hiburan (Tanggapan). Namun kondisinya masih memprihatinkan karena belum ada pembinaan secara khusus untuk mengembangkan kesenian Cepetan ini sebagai aset daerah.

Bagaimana alternatif menjaga kelestarian kesenian Cepetan?
Kesenian Cepetan merupakan asset daerah Kebumen yang wajib dijaga kelestariannya. Beberapa alternatif upaya pelestarian kesenian Cepetan yang dapat ditempuh, antara lain: 1) Memasyarakatkan kesenian Cepetan dalam bentuk tarian massal yang ditampilkan pada acara resmi pemerintah daerah, 2) Membudayakan gerakan tari Cepetan pada genarasi muda sejak dini dengan menjadikan gerakan tari Cepetan sebagai gerakan senam khas Kabumen (Senam Cepetan) di semua institusi pendidikan mulsi tingkat pendidikan anak usia dini, 3) Menyuguhkan kesenian Cepetan pada perhelatan  resmi daerah Kebumen, sehingga sejajar dengan kesenian rakyat lainnya, 4) Menjadikan musik pengiring tari Cepetan sebagai ikon Kabupaten Kebumen, 5) Inovasi pengembangan lainnya.
Kesenian melekat erat dalam semua sendi kehidupan manusia. Demikian juga dengan kesenian Cepetan, kehadiran dan keberadaannya memberi makna tersendiri pada kehidupan manusia. Mengembangkan dan melihara kelestariannya menjadi kewajiban setiap kita untuk dapat tetap terjaga eksistensinya. Peran generasi muda dan pembuat kebijakan sangat penting agar semua upaya pelestarian mendapatkan jalannya. Pelestariannya, akan membuat generasi Mbah Dawintana, dapat meninggalkan warisan dengan sempurna.


Selamat Ulang Tahun ke-391 Kabupaten Kebumen. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmad-Nya, Kabupaten Kebumen makin sejahtera.

#Kebumenku391
#Umahgombong

Rabu, 08 Februari 2017

FASE FASE GLOBALISASI


Ada beberapa fase Globalisasi, yaitu meliputi :

Fase 1
Fase pertama, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Para pedagang Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat ( jalur sutera ) maupun jalan laut untuk berdagang.

Fase 2
Fase ini ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang meliputi Jepang, Cina, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, Pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia dan Genoa. Kaum pedagang Muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.

Fase 3
Fase selanjutnya ditandai kebutuhan akan bahan baku industri, yang mendorong eksplorasi besar-besaran oleh bangsa Eropa, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa dunia.

Fase 4
Fase selanjutnya ditandai semakin berkembangnya industri dan kebutuhan bahan baku serta pasar yang kemudian mendorong berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia contohnya sejak politik pintu terbuka, perusahaan2 Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia seperti Freeport dan Exxon dari AS, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris.

Jumat, 03 Februari 2017

MENYIKAPI GLOBALISASI

Globalisasi, satu kata yang sangat tidak banyak karakter namun bila berbicara tentang Globalisasi, maka milyaran kata tidak akan cukup untuk menggambarkan dan membicarakannya. Banyak hal yang berkaitan dengan kata Globalisasi ini. Dari pengertian, penyebabnya, pemicu makin berkembangnya dan juga dampak yang ditimbulkannya.
 Sebelum kita bicara lebih banyak tentang Globalisasi, mari kita lihat video berikut ini.


Dengan melihat video tadi, dapat kita pahami betapa Globalisasi merupakan satu era yang menimbulkan tantangan dan permasalahan tersendiri yang berkaitan dengan karakter para generasi penerus bangsa ini.
Bagaimana kita menyikapi hal tersebut?
Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain menanamkan nilai nilai karakter sejak dini kepada generasi penerus bangsa ini. Selain tentu saja menanmkan nilai nilai dasar Pancasila sebagai ideologi negara dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari hari.

MATA PELAJARAN PKn


A. Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan dan perubahan dalam masyarakat, serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bidang lainnya, diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk melakukan penguatan kurikulum agar tetap sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penguatan subtansi dan pelaksanaan kurikulum perlu segera dilakukan.

Upaya penguatan tersebut perlu dilakukan terutama untuk mata pelajaran yang secara konseptual memiliki fungsi memperkuat proses pembangunan bangsa dan karakter, yang salah satunya adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Dalam beberapa tahun terakhir, mata pelajaran PKn memperoleh masukan, baik konseptual maupun operasional. Masukan itu perlu ditanggapi secara positif oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk selanjutnya dilakukan penguatan terhadap mata pelajaran PKn. Penguatan kurikulum mata pelajaran tersebut dilakukan untuk mengakomodasi subtansi 4 (empat) pilar kebangsaan yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan menjadi ruang lingkup baru.

Oleh karena itu, mata pelajaran PKn disesuaikan menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) agar dapat mengakomodasi perkembangan dan persoalan yang berkembang dalam masyarakat.



B. Landasan Yuridis

Penguatan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berlandaskan pada:
  1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
  2. Undang - Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 2, 3, 4 dan 37; beserta ketentuan perundang-undangan turunannya;
  3. Undang - Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 - 2025;
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan khusunya Pasal 6, 7, 8, dan 9;
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014;
  6. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2008 tentang Ekonomi Kreatif;
  7. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional


C. Karakteristik Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)

Eksistensi PPKn dinyatakan dalam pasal 37 Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 37 dinyatakan bahwa: “...pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Untuk mengakomodasikan perkembangan baru dan mewujudkan pendidikan sebagai bagian utuh dari proses pencerdasan kehidupan bangsa, maka nama mata pelajaran PKn beserta ruang lingkup dan proses pembelajarannya disesuaikan menjadi PPKn, yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dikenal dengan “empat pilar kebangsaan”.

  1. Dalam PPKn, Pancasila ditempatkan sebagai entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan ukuran keberhasilan dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran.
  2. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari keseluruhan tatanan penyelenggaraan negara yang berdasarkan atas dan bermuara pada sistem nilai dan moral Pancasila.
  3. Masing-masing ruang lingkup dijabarkan ke dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang secara konseptual membangun keutuhan masing-masing ruang lingkup dan mencerminkan koherensi PPKn dengan empat pilar.
  4. Dalam setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, mata pelajaran PPKn memuat secara utuh ke-empat ruang lingkup tersebut.


C. Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan


1. Tujuan PPKn tidak bisa dipisahkan dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam Pasal 3 Undang Undang Sistim Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”


2. PPKn bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.






D. Ruang Lingkup


Ruang lingkup dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan meliputi:


1. Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika dalam pergaulan Internasional;


2. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;


3. Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa; dan


4. Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.






E. Pembelajaran


Penguatan kurikulum PPKn dilakukan melalui penerapan berbagai proses pembelajaran inovatif, kreatif, dan konstekstual sebagai wahana pembentukan karakter peserta didik secara utuh. Pengalaman belajar diseleksi dan diorganisasikan dengan menggunakan antara lain: (1) pendidikan nilai dan moral, (2) pendekatan lingkungan meluas; (3) pembelajaran aktif; (4) pemecahan masalah; (5) pendekatan kontekstual; (6) pembelajaran terpadu; (7) pembelajaran kelompok; (8) pendidikan demokrasi; (9) praktik belajar kewarganegaraan; (10) pemberian keteladanan; dan (11) penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah yang berkarakter sesuai dengan nilai dan moral Pancasila.






F. Penilaian


Penilaian menggunakan aneka ragam tes dan nontes yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan dengan menitikberatkan pada perwujudan nilai dan moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu dapat digunakan berbagai instrumen penilaian, antara lain: (1) tes obyektif; (2) test esai; (3) test perbuatan; (4) test kasus; (5) catatan anekdotal; (6) penilaian sebaya; (7) penilaian portofolio; dan (8) hasil projek belajar. Untuk masing-masing penilaian diperlukan kriteria dan prosedur penilaian yang sesuai dengan ciri khasnya.